Kampung Cempaka
Perbedaan yang Menguatkan
Kampung Cempaka adalah sebuah kampung
transmigran. Warganya berasal dari berbagai
daerah padat di Pulau Jawa. Hal itu menjadikan
mereka berbeda suku maupun agama.
Di Kampung Cempaka, hiduplah lima orang
sahabat. Ada Asnah yang berdarah Sunda,
Utami dari Banyuwangi, Toni, seorang anak
etnis Tionghoa yang sebelumnya tinggal di
Semarang, Wande dari suku Tengger di Jawa
Timur, dan Marta, anak seorang pendeta yang dahulu tinggal di Solo.
Di Kampung Cempaka, rumah mereka bersebelahan dan mereka pergi
ke sekolah yang sama. Itu sebabnya mereka sangat akrab. Mereka suka
bermain bersama dan sering menghabiskan waktu di rumah satu sama
lain.
Meskipun berbeda suku, kebersamaan begitu kental terlihat dalam
keseharian mereka. Bersama anak-anak lain di Kampung Cempaka, mereka
setiap akhir minggu berkumpul di balai utama kampung. Biasanya, selain
berolahraga bersama, mereka juga kerap berkeliling ke rumah warga,
membantu melakukan apa saja yang dibutuhkan warga.
Kadang-kadang mereka membantu warga lanjut usia, sekadar membereskan
rumah atau menyiapkan makanan. Sesekali mereka juga membantu orang
tua yang sedang bekerja bakti membersihkan lingkungan.
Dari Toni, mereka belajar menari Barongsai. Lalu mereka ajarkan tarian
itu kepada anak-anak sekampung. Sementara itu, setiap tiba saat panen,
Wande dan keluarganya akan sibuk memimpin warga membuat Tumpeng
Gede, yaitu nasi khas dari daerah Tengger yang dibuat untuk mensyukuri
berkah Tuhan dalam wujud panen raya.
Sikap toleransi yang ditunjukkan kelima sahabat itu memang sekadar
berupa hal-hal kecil. Hal kecil dalam keseharian itulah yang mencerminkan
kehidupan Bhinneka Tunggal Ika di Kampung Cempaka yang kaya akan
perbedaan. Mereka hidup damai berdampingan dan tulus saling menjaga.